Assalamualaikum w.b.t dan salam sejahtera buat kalian yang sudi berkunjung ke Teratak Nukilan Kehidupan yang insyallah serba berinformasi ini. Segala informasi yang didapati di sini semoga dapat kita kongsikan bersama dan dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya. Pada kali ini kita akan sama-sama berkongsi sebuah cerita yang mungkin kita semua pernah mendengarnya, namun marilah sama-sama kita ikuti semoga ianya menjadi pengajaran kepada kita, insyallah Amiinn....
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, disalah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir epal jatuh dari tangkainya dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut epal yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya dan barulah dia sedar bahawa epal itu bukan miliknya. Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya. Akhirnya pemuda itu meninggalkan separuh sisa epal itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh epal ini. Apakah kamu mahu memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya boleh memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun epal ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya tidak jauh dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kebenarannya kerana dia telah memakan epal milik tuan kebun tersebut. Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh epal milik anda yang saya temui dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi puteriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi puteri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahawa puteriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.” Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh epal yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mahu, datanglah sesudah Isyak agar kau dapat temui isterimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar isterinya dan memberi salam. Sekali lagi pemuda itu terkejut luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih hairan kebingungan, kata mertuanya, puterinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang puterinya. Isterinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat redha Allah.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Kerana saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diredhai Allah.”
Pemuda itu memandang wajah isterinya, yang bagaikan purnama. Tak lama selepas pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah yang soleh, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah. Semoga nilai-nilai yang ditunjukkan Tsabit dapat kita contohi bersama. Jika tidak semuanya, cukuplah secebis sifat mulia ini dapat kita hayati dan praktikkan di dalam kehidupan kita ini.
IsLaM ThE WaY oF LiFe...
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, disalah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir epal jatuh dari tangkainya dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut epal yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya dan barulah dia sedar bahawa epal itu bukan miliknya. Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya. Akhirnya pemuda itu meninggalkan separuh sisa epal itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh epal ini. Apakah kamu mahu memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya boleh memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun epal ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya tidak jauh dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kebenarannya kerana dia telah memakan epal milik tuan kebun tersebut. Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh epal milik anda yang saya temui dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi puteriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi puteri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahawa puteriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.” Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh epal yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mahu, datanglah sesudah Isyak agar kau dapat temui isterimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar isterinya dan memberi salam. Sekali lagi pemuda itu terkejut luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih hairan kebingungan, kata mertuanya, puterinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang puterinya. Isterinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat redha Allah.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Kerana saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diredhai Allah.”
Pemuda itu memandang wajah isterinya, yang bagaikan purnama. Tak lama selepas pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah yang soleh, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah. Semoga nilai-nilai yang ditunjukkan Tsabit dapat kita contohi bersama. Jika tidak semuanya, cukuplah secebis sifat mulia ini dapat kita hayati dan praktikkan di dalam kehidupan kita ini.
IsLaM ThE WaY oF LiFe...
Tiada ulasan:
Catat Ulasan